Sejarah

Pertanyaan

Cita cita parlementer

2 Jawaban

  • partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.
  • Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Adian (Kompas 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas 27/11), sungguh menarik untuk direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif?

    Ahli perbandingan politik seperti Juan J. Linz (1994) sebenarnya sudah mengingatkan bahwa secara institusional demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara-negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), melainkan juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial itu sendiri.

    Perangkap Konflik
    Skema presidensial lebih berisiko lagi jika ia dikombinasikan dengan sistem multipartai ekstrim seperti berlangsung di Indonesia. Konsekuensi logis dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya “presiden minoritas” –presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR—dan fragementasi politik tanpa kekuatan mayoritas di Dewan seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001, Megawati (2001-2004), kemudian Presiden Yudhoyono saat ini. Realitas demikian memberi peluang bagi DPR “mengganggu” Presiden yang kemudian mendorong munculnya situasi konflik antara Presiden dan DPR. Scott Mainwaring (1993) bahkan mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai.

    Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai-partai, baik pada era Wahid, Megawati, dan Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan “gangguan DPR” tersebut meskipun gagal pada era Wahid ketika ia dimakzulkan oleh MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono tetapi tidak berdampak pada deadlock bukan hanya karena putera Pacitan ini lebih kompromistis dibandingkan Wahid, melainkan juga karena Presiden Yudhoyono mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik.

    Namun sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, melainkan juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Pertanyaannya, mengapa demikian?

    DPR Heavy
    Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah bahwa konstitusi hasil amandemen tidak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati “murni”, melainkan juga semakin memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimilikinya, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi dirinya sendiri untuk menyeleksi pejabat-pejabat publik seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI dan Kapolri, serta pimpinan dan anggota komisi-komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang. Otoritas yang semestinya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme itu menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan “gangguan” terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi “sarat DPR” (DPR heavy).

Pertanyaan Lainnya